Penegakan Pidana Pemilu Vs Kepentingan Politik

Pertarungan penegakan hukum dan kepentingan politik dalam arena penegakan pidana pemilu masih panjang. Pertarungan ini terkait dengan keterbatasan waktu dalam penegakan pidana pemilu. UU 10/2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD memberikan waktu 14 hari untuk dilakukannya penyidikan. Keterbatasan waktu itu menjadi tantangan berat yang dihadapi penyidik. Namun hasil awal ini sudah cukup memberikan gambaran, siapa yang akan menjadi pecundang sejati. Selasa malam (18/11), penyidik kepolisian telah mengeluarkan keputusan penghentian penyidikan atas dugaan ijazah palsu ketua PNI Marhaenisme, Sukmawati Soekarnoputri.

Alasan penghentian penyidikan itu karena tidak cukup bukti untuk dilakukan penuntutan. Ijazah asli yang diduga dipalsukan tidak ditemukan, baik milik Sukma maupun dokumen yang dimiliki SMA 3 Jakarta. Selain itu, pihak SMA 3 Jakarta tidak ada yang bisa membenarkan atau menolak dugaan pemalsuan itu. Namun ada alasan lain yang tidak dikemukakan, bahwa tanggal 19 Nopember ini batas akhir kepolisian melakukan penyidikan. Artinya penyidik kepolisian tidak siap menangani pelanggaran pidana pemilu. Persiapan matang kepolisian menghadapi keterbatasan waktu penyidikan hanyalah retorika belaka.

Penghentian penyidikan merupakan hal wajar dalam proses beracara. Sebuah mekanisme yang fair dan adil bagi tersangka. Juga wujud sikap ksatria seorang penyidik untuk menyatakan ketidakmampuannya mengumpulkan alat bukti. Dan sah-sah saja penyidik melakukan itu, karena Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengaturnya. Pasal 109 ayat (2) memberikan 3 alasan untuk dapat dilakukan penghentian penyidikan. Pertama, karena tidak terdapat cukup bukti. Kedua, peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana. Dan ketiga, penyidikan dihentikan demi hukum.

Namun insiden ini telah memberikan gambaran penegakan hukum pidana pemilu kedepan. Bagaimana penyidik kepolisian akan menjawab tantangan batasan waktu yang diatur undang-undang pemilu. Kiranya insiden penghentian penyidikan tidak cukup membuat kejutan terhadap publik. Karena sejak awal telah diprediksikan bakalan terjadi. Belajar dari pengalaman pemilu 2004, ada dua faktor dari empat faktor yang mendominasi rendahnya penanganan pelanggaran pidana pemilu. Pertama, adanya keputusan diskresi dari kepolisian/jaksa untuk tidak menindaklanjuti laporan karena tersangka telah dicoret dari daftar calon tetap (DCT). Kedua, bukti pelanggaran tidak cukup untuk dilakukan penuntutan (Topo Santoso, 2004, Penegakan Hukum Pemilu).

Tantangan Penegakan Hukum
Sejak awal telah diperingatkan bahwa penanganan pelanggaran pidana pemilu semakin rumit. Mengingat limit waktu yang diberikan UU 10/2008 sangat terbatas. Waktu efektif untuk menyelesaikan pelanggaran pidana pemilu dari pelaporan hingga eksekusi hanya 56 hari. Bandingkan dengan tenggang waktu pada Pemilu 2004 yang relatif lebih panjang hingga 156 hari.

Pelaporan terjadinya pelanggaran pidana pemilu disampaikan kepada Bawaslu 3 hari setelah kejadian. Atas laporan itu bawaslu menindaklanjutinya dalam 3 hari dan maksimal 5 hari jika memerlukan informasi tambahan. Kesimpulan atas laporan itu dapat berupa pelanggaran atau justru bukan. Pelanggaran administrasi diteruskan ke KPU, sedangkan pelanggaran pidana pemilu dilaporkan kepada kepolisian.

Penyidikan dan pelimpahan berkas atas laporan Bawaslu dilakukan dalam 14 hari. Penuntut Umum (PU) mempelajari berkas perkara dalam 3 hari untuk memastikan kelengkapannya. Jika berkas belum lengkap, penuntut umum mengembalikannya kepada penyidik dan 3 hari setelah itu harus sudah diserahkan kembali. Pelimpahan berkas perkara dilakukan dalam 5 hari sejak pelimpahan oleh penyidik kepolisian.

Hakim pengadilan negeri (PN) memiliki waktu memeriksa, mengadili dan memutus perkara 7 hari. Permohonan banding dapat dilakukan 3 hari sejak putusan dibacakan. Setelah permohonan banding diterima, PN melimpahkan berkas perkara dalam waktu 3 hari. Pengadilan Tinggi (PT) memiliki waktu memeriksa, mengadili dan memutus perkara selama 7 hari sejak permohonan banding diterima. Artinya waktu 7 hari ini dapat berkurang 3 hari jika proses pelimpahan berkas perkara oleh PN memaksimalkan waktu yang diberikan. Sebab pemberian jangka waktu pelimpahan berkas perkara dengan waktu pemeriksaan di PT dimulai sejak permohonan banding diterima.

Putusan PT mempunyai kekuatan hukum tetap serta tidak ada upaya hukum lainnya (Inkrahct van gewij). 3 hari setelah putusan dibacakan, PT menyampaikan kepada PU. Eksekusi dijalankan dalam 3 hari setelah diterimanya salinan putusan. Jika putusan tersebut dapat memengaruhi perolehan suara, maka putusan harus selesai 5 hari sebelum KPU menetapkan hasil pemilu secara nasional.

Semakin mengkhawatirkan ketika hukum acara tersebut tidak jelas mendefinisikan hari. Apakah hitungan hari yang dimaksud merupakan hari kerja atau justru terhitung hari libur? Jika merujuk Pasal 254 (1) UU 10/2008 bahwa persidangan dilakukan dengan menggunakan KUHAP, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka hari yang dimaksud sesuai dengan pasal 1 angka 31 KUHAP. Satu hari yang dimaksud adalah dua puluh empat jam dan satu bulan adalah waktu tiga puluh hari. Artinya, hitungan hari dalam hukum acara pidana pemilu tidak mengenal hari libur.

Padahal, keran kriminalisasi pada setiap tahapan pemilu telah terbuka lebar dengan keberadaan UU 10/2008. Setiap tahapan disertai dengan pengaturan ketentuan pidana. Undang-undang ini mengatur 52 pasal dan jika dipecah berdasarkan perbuatannya menjadi 64 jenis pelanggaran pidana pemilu. Berarti telah terjadi peningkatan dari UU 13/2003 yang hanya 31 pasal. Dari 64 jenis pelanggaran, 23 ketentuan pidana ditujukan kepada setiap orang, 19 ketentuan secara langsung ditujukan ke penyelenggara, 2 ketentuan untuk pengawas, 11 ketentuan dilakukan pelaksana, peserta, dan petugas kampanye. Selebihnya dilakukan oleh aparat pemerintah (3), perusahaan percetakan (2), lembaga survei (3), dan petugas pembantu pemilih (1).

Pengaturan pelanggaran yang begitu mendetail berbading terbalik dengan waktu yang tersedia untuk penegakannya. Menggunakan logika berpikir sederhana, maka dengan aturan yang begitu banyak dan mendetail akan makin banyak menjerat pelaku pelanggaran. Artinya, akumulasi pelanggaran pidana Pemilu 2009 akan semakin meningkat dengan asumsi kesadaran hukum tetap. Anehnya, legislator justru memangkas waktu penegakannya dengan limit waktu terbatas.

Koordinasi Antar Instansi
Memang tidak mudah menangani pelanggaran pidana pemilu. Permasalahannya begitu komplek karena melibatkan kepentingan politik. Sejak awal, penegakan hukum pidana pemilu telah dikebiri. Akal-akalan ini terlihat dalam pembatasan waktu yang tidak logis. Pelajaran pemilu 2004 seharusnya menjadikan legislator sadar untuk lebih dewasa melakukan pengaturan. Law in action harus menjadi prioritas perhitungan berjalannya aturan yang mereka buat. Jika tidak, hukum akan sekedar menjadi bahan bacaan wajib aparat penegak hukum. Karena sulit untuk diimplementasikan. Data Panwaslu 2004 memperlihatkan buruknya penanganan pelanggaran pidana pemilu. Dari 3.153 pelanggaran yang dilaporkan bawaslu, hanya 1.022 kasus yang kemudian divonis pengadilan. Artinya, aparat penegak hukum hanya mampu menangani 32,4% perkara saja.

Ibarat nasi telah menjadi bubur, sejak peraturan itu diundangkan maka aparat penegak hukum harus mematuhinya. Oleh sebab itu, perlu persiapan dan strategi yang matang untuk menyikapi keterbatasan itu. Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan harus menugaskan orang-orang terbaiknya dalam penanganan pelanggaran pidana pemilu. Aparat tersebut harus memahami aturan pemilu dengan segala keterbatasannya, berintegritas tinggi, dan tidak kalah penting ada koordinasi antarinstansi (kepolisian, kejaksaan, peradilan).

Tinggalkan komentar