Putusan MK: Preseden Buruk Pemilu 2009

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 41/PHPU-D/VI/2008, tanggal 2 Desember 2008 atas sengketa hasil Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) Jawa Timur telah mengabulkan untuk sebagian permohonan Khofifah Indar Parawansa – Mujiono (Kaji). Keputusan ini diambil dengan mengabaikan fakta bahwa dalil permohonan berdasarkan fakta hukum dan tuntutan yang diajukan tidak konsiten. Bahkan secara formil fakta hukum dan tuntutan itu tidak terbukti. Namun karena pemilukada Jatim dinilai tidak adil maka perlu dilakukan pemungutan dan penghitungan ulang. Sebab telah terjadi pelanggaran pemilu secara sistematis, terstruktur dan masif di Kabupaten Sampang, Pamekasan dan Bangkalan Madura.

Berdasarkan putusan itu, MK membatalkan keputusan KPU Propinsi Jatim No. 30 Tahun 2008 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi Jawa Timur Tahun 2008 Putaran II. Dengan demikian, keputusan yang dikeluarkan 11 Nopember ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun keputusan MK hanya berlaku atas hasil rekapitulasi penghitungan suara di Kabupaten Bangkalan, Sampang dan Kabupaten Pamekasan, Madura. Oleh karena itu, MK memerintahkan untuk dilakukannya pemungutan suara ulang di Kabupaten Bangkalan dan Sampang. Sedangkan Kabupaten Pamekasan dilakukan penghitungan suara ulang secara berjenjang atas surat suara yang telah dicoblos. Pemungutan dan penghitungan suara ulang itu dilakukan maksimal 60 dan 30 hari secara berturut-turut.

MK tidak konsisten
Putusan MK dengan mengabulkan sebagian atas permohonan Kaji merupakan tindakan yang tidak konsisten. Baik secara formil maupun materiil penyelenggaraan pemilu demokratis. Secara formil MK telah melanggar beberapa peraturan perundang-undangan. Antara lain Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945, Pasal 77 UU 24/2003 tentang MK, Pasal 4 dan Pasal 13 ayat 3 Peraturan MK No.15/2008 tentang Pedoman Beracara Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada, Pasal 233 Ayat (3) UU 12/2008 tentang Perubahan atas UU Pemerintahan Daerah.

Konstitusi telah mengatur bahwa kewenangan MK salah satunya memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Lebih lanjut Pasal 4 Peraturan MK 15/2008 menegaskan bahwa objek perselisihan pemilukada merupakan hasil penghitungan suara. Dengan demikian tugas dan wewenang MK terbatas pada memutus atas sengketa hasil akhir pemilukada. Kewenangan ini sama halnya dengan tugas juru hitung untuk memastikan bahwa penghitungan yang dilakukan KPU Propinsi benar dan tidak ada kecurangan. Oleh karena itu proses penghitungan lebih didasarkan pada bukti formil berupa berita acara, dan salinan pengumuman hasil pemungutan dan rekapitulasi suara di TPS, PPS, PPK, KPU Propinsi, Kab/ Kota. Asumsi ini dibangun atas dasar pembagian kewenangan penyelenggaraan pemilu serta penegakan hukumnya. Serta diyakini bahwa proses penyelenggaraan pemilu dijalankan dengan baik dan adil.

MK tidak hanya melanggar kewenangannya, namun amar putusan yang telah dikeluarkan menyimpang dengan ketentuan yang digariskan. Pasal 77 UU MK memberikan batasan yang jelas tentang amar putusan yang harus dikeluarkan. Ketentuan ini diperkuat keberadaan Pasal 13 ayat 3 Peraturan MK. Bahwa amar putusan MK menyangkut 3 hal. Pertama, permohonan tidak dapat diterima, jika tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Kedua, permohonan dikabulkan jika terbukti. Konsekuensi amar putusan ini, MK membatalkan hasil penghitungan suara yang telah ditetapkan. Ketiga, permohonan ditolak karena permohonan itu tidak beralasan.

Sebagai pengawal konstitusi, seharusnya MK memperhatikan konstitusionalitas putusannya. Sehingga berbagai ketentuan perundang-undangan seperti di atas menjadi acuan baku. Namun kemudian kewenangan besar membuat nya abai terhadap ketentuan yang ada. MK seharusnya memperhatikan juga ketentuan-ketentuan yang menyesuaikan dengan kondisi kekinian. Seperti keberadaan Pasal 233 ayat (3) UU 12/2008. Ketentuan ini lahir untuk menyikapi penyelenggaraan maraknya pemilukada yang dapat mengganggu berjalannya pemilu 2009. Sehingga peraturan ini memberikan batasan hingga bulan Desember untuk menyelesaikan agenda demokrasi di daerah. Dan putusan MK yang memberikan waktu pemungutan ulang hingga 60 hari dan penghitungan ulang 30 hari jelas bertentangan. Sehingga berpotensi terjadinya konflik hukum.

Terhadap penyimpangan itu, MK menganggap perlu dilakukan terobosan hukum. MK tidak dapat dipasung oleh penafsiran sempit UU tentang kewenangan penyelesaian sengketa hasil pemilukada. Sebab dalam Pemilukada Jatim telah terjadi pelanggaran secara terstruktur, sistematis dan masif yang berdampak besar terhadap perolehan suara. oleh karena itu jika tetap mendasarkan pada bukti formal penghitungan suara, tidak akan terwujud kebenaran materiil dan sulit ditemukannya keadilan.

Namun alasan untuk mewujudkan kebenaran materiil itu tidak konsisten dilakukan. Terobosan hukum yang berdampak campur tangannya MK pada ranah pelanggaran ternyata dilakukan dengan separoh hati. Jika keputusan itu dianggap benar, maka seharusnya MK menindaklanjuti pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif itu. Jika MK merasa tidak memiliki kewenangan untuk menindaklanjuti baik secara pidana, administrasi dan bahkan kode etik penyelenggara pemilu, bisa memerintahkannya kepada aparat yang memiliki kewenangan untuk itu. Tapi kan MK tidak menyentuh sedikitpun kecurangan yang menjadi alasan pemilukada ulang. MK mencari posisi aman disini.

Preseden Buruk Terhadap Pemilu 2009
Dampak Putusan MK tidak terhenti hingga berakhirnya Pemilukada Jatim dan dilantiknya gubernur dan wakil gubernur terpilih. Namun ini dapat menjadi gambaran pola penanganan sengketa hasil pemilu 2009. Dan merupakan pelajaran berharga bagi aktor yang terlibat dalam pemilu 2009. Baik penyelenggara, aparat penegak hukum maupun peserta pemilu.

Berkaca pada persiapan penyelenggaraan pemilu 2009, keputusan MK itu akan menjadi preseden buruk bagi pemilu mendatang. Putusan MK itu telah membuka ruang terjadinya sengketa perselisihan hasil dengan dalih terjadinya pelanggaran pemilu. Akibatnya alasan ini akan marak menjadi dasar yang akan dimanfaatkan banyak pihak. Kekacauan penyelenggaraan pemilu akan menjadi trend baru bagi caleg, parpol maupun calon independen (DPD). Akibatnya, dapat dipastikan banyaknya perkara perselisihan hasil pemilu yang diajukan.

Namun sesungguhnya preseden itu merupakan pesan MK bagi penyelenggaraan untuk terselenggaranya pemilu yang lebih adil. Penyelenggara pemilu harus berfikir bahwa orientasi kesuksesan pemilu tidak hanya terletak pada hasil. Namun bagaimana proses penyelenggaraan berjalan secara adil. Proses diperlukan untuk memastikan bahwa penyelenggaraan pemilu telah memberikan kesempatan yang sama bagi peserta untuk mengikuti prosesi konversi suara rakyat. Begitu juga rakyat sebagai pemegang kedaulatan dipastikan tidak salah dalam memberikan pilihannya.

1 thoughts on “Putusan MK: Preseden Buruk Pemilu 2009

  1. Assalamu alaikum wr. wb.

    Saudaraku tersayang,
    lihat kenyataan yang ada di sekitar kita!

    Uang Dihamburkan…
    Rakyat dilenakan…
    Pesta DEMOKRASI menguras trilyunan rupiah.
    Rakyat diminta menyukseskannya.
    Tapi rakyat gigit jari setelahnya.
    DEMOKRASI untuk SIAPA?

    Ayo temukan jawabannya dengan mengikuti!

    Halqah Islam & Peradaban
    –mewujudkan rahmat untuk semua–
    “Masihkah Berharap pada Demokrasi?”
    Tinjauan kritis terhadap Demokratisasi di Dunia Islam

    Dengan Pembicara:
    Muhammad Rahmat Kurnia (DPP HTI)
    KH. Ahmad Fadholi (DPD HTI Soloraya)

    yang insyaAllah akan diadakan pada:
    Kamis, 26 Maret 2009
    08.00 – 12.00 WIB
    Gedung Al Irsyad

    CP: Humas HTI Soloraya
    HM. Sholahudin SE, M.Si.
    081802502555

    Ikuti juga perkembangan berita aktual lainnya di
    hizbut-tahrir.or.id

    Semoga Ia senantiasa memberikan petunjuk dan kasih sayangnya kepada kita semua.
    Ok, ma kasih atas perhatian dan kerja samanya. (^_^)
    Mohon maaf jika ada ucapan yang kurang berkenan. (-_-)

    Wassalamu alaikum wr. wb.

Tinggalkan komentar