Membonsai Kemandirian KPU

Terang sudah komposisi kepengurusan Partai Demokrat di bawah kepemimpinan Anas Urbaningrum. Sejumlah nama masuk dalam formasi kepengurusan, tidak hanya anggota partai, Purnawirawan TNI dan juga aktifis. Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) dipilih sebagai Sekjen, sehingga menjadi duet maut bagi kepemimpinan Anas. Dari sejumlah nama yang muncul, nama Andi Nurpatilah yang justru memberikan kejutan. Andi Nurpati sekarang justru masih menjabat sebagai Anggota KPU Periode 2007 – 2012.
Munculnya nama Andi Nurpati telah menampar muka Komisi Pemilihan Umum (KPU). Disaat keraguan atas kemandirian dan independensi KPU semakin menguat, Andi justru berulah dengan menerima pinangan Partai Demokrat. Bukan memperbaiki citra kelembagaan, justru menjatuhkannya dalam nadir ketidakpercayaan publik. Tapi kenapa justru Andi, karena awalnya tudingan itu mengarah kepada Ketua KPU Hafidz Anshari dan Endang Sulastri. Saat Pemilu Presiden 2009, kedua nama itu yang justru menyambangi Tempat Pemungutan Suara (TPS) dimana Susilo Bambang Yudhoyono memberikan hak suaranya.
Tamparan itu tidak semata-mata mengena KPU, namun juga terhadap publik yang sedang gencar memperjuangkan independensi dan kemandirian penyelenggara pemilu. Masyarakat sipil justru sedang berjuang keras menolak masuknya anggota Parpol dalam keanggotaan KPU. Penolakan itu dilakukan untuk memperbaiki demokrasi dengan membangun penyelenggara pemilu yang berintegritas dan tentunya mandiri. Harapannya, kemandirian itu dapat memberikan kontribusi dalam memperbaiki karut marut proses rekruitment kepemimpinan nasional mendatang.
Pasca kontroversi Andi, bagaimanakah nasib kemandirian dan independensi KPU mendatang? Haruskah insiden buruk itu meruntuhkan penataan kelembagaan KPU, karena semua partai menginginkan wakil mereka di tubuh penyelenggara pemilu? Nampaknya legalisasi syarat partisan akan menguatkan hasrat berbagi kekuasan di DPR.
Berfikir sesat
Kedatangan Ketua KPU Hafidz Anshari dan Endang Sulastri di TPS tempat SBY mencontreng dalam Pemilu 2009, merupakan titik balik kepercayaan parpol peserta pemilu. Persoalan itu yang kemudian dipelintir untuk mempersoalkan kemandirian dan independensi KPU. Hingga akhirnya, lahirlah Draft Revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Pasal 11 huruf i yang membatasi keanggotaan KPU dari unsur Parpol dihapuskan oleh Panitia Kerja Komisi II DPR RI. Karena praktik penyelenggaraan justru dianggap menunjukkan sikap keberpihakan KPU terhadap partai tertentu.
Keberadaan Andi dalam kepengurusan Partai Demokrat justru menjadi alat pemicunya. Partai non Demokrat pasti akan menjadikannya sebagai alat legalisasi syarat partisan dalam keanggotaan KPU. Anggapan untuk menuding adanya afiliasi politik dibalik jubah independensi sulit dielakkan. Tapi apakah semua akan berfikir pragmatis, demi alasan pemerataan dan keadilan bagi peserta pemilu. Kemudian partai berbondong-bondong memasukkan kadernya menduduki KPU. Apa jadinya penyelenggara jika diisi oleh peserta pemilu.
Jika bayangan itu ada dalam benak wakil rakyat di DPR, maka sungguh sesat cara berfikirnya. Bagaimana mungkin, Parpol peserta pemilu justru turut serta sebagai penyelenggara. Dalihnya untuk menjaga independensi penyelenggara, karena masuknya unsur partai di KPU justru akan menciptakan mekanisme kontrol antar peserta. Jangankan berfikir untuk mengamankan pemilu, yang ada justru saling menjaga kepentingan masing-masing. Mungkin mereka lupa akan kegagalan Pemilu 1999. Pemilu 1999 yang diselenggarakan oleh wakil parpol peserta pemilu dan pemerintah telah menunjukkan betapa anggota yang tidak independen (perwakilan Parpol), justru tidak mampu menghasilkan KPU yang independen. Pemilu pun hampir gagal, karena masing-masing perwakilan partai tidak mau menandatangai hasil pemilu yang mereka selenggarakan sendiri.
Insiden Andi tidak serta merta dapat digunakan sebagai alat pembenar melenggangkan kepentingan partai. Memang benar, insiden serupa pernah terjadi ketika Anas Urbaningrum berhenti dari keanggotaan KPU (2004) dan bergabung dengan Partai Demokrat. Keputusan itu tentunya tidak muncul begitu saja. Justru pada posisi ini, DPR dan Presidenlah yang harus dimintakan pertanggungjawaban, jika seluruh partai mempersoalkannya. Berarti ada ketidakberesan dalam proses seleksi. Bagaimana mungkin orang-orang yang berpotensi tidak independen lolos sebagai anggota KPU.
Mekanisme rekruitmen memang berpotensi membuka ruang intervensi kepentingan. Bagaimana tidak, peran parpol dan pemerintah sangat besar, sejak pembentukan Tim Seleksi hingga penentuan anggota terpilih. Dengan mekanisme itu, sangat sulit bagi mereka yang berkompeten untuk dapat terpilih, tanpa adanya kedekatan politik. Sebut saja nama Ramlan Surbakti, Valina Singka, Hadar Gumay, Didik Supriyanto. Siapa yang dapat menyangkal kompetensi mereka dalam kepemiluan, tapi toh tidak dapat menembus proses seleksi. Paling tidak fakta itu telah menunjukkan bahwa proses seleksi telah bermasalah sejak awal.
Kemandirian
Revisi UU 22/ 2007 hendaknya memperhatikan 2 hal dalam penataan KPU yang mandiri. Pertama, kemandirian dan independensi keanggotaan KPU. Syarat non partisan tidaklah cukup untuk melahirkan anggota KPU yang mandiri dan independen. Syarat non partisan harus didukung dengan mekanisme seleksi anggota yang jelas. Bagaimana mekanisme seleksi dapat meminimalisir transaksi kepentingan antara calon anggota dengan partai atau pemerintah. Proses seleksi yang baik diharapkan dapat menghindarkan dari politik etis (balas budi) anggota KPU terpilih. Makanisme pengawasan, penegakan hukum dan etika KPU pun harus benar-benar ditegakkan. Seperti sekarang, Andi Nurpati harus dihadapkan di depan meja Dewan Kehormatan untuk mempertanggungjawabkan posisinya. Mengundurkan diri mungkin akan sangat mudah baginya, namun persidangan etika penyelenggara patut digelar untuk menjaga kewibawaan penyelenggara pemilu.
Kedua, kemandirian kelembagaan KPU melalui penataan birokrasi dan kesekretariatan jenderal. KPU harus memiliki kewenangan baik pengangkatan maupun pemberhentian Sekjen dan jajaran di bawahnya. Kepegawaian KPU pun hendaknya direkrut oleh KPU dengan orientasi profesionalisme penyelenggaraan pemilu. Ini penting dilakukan untuk menjaga loyalitas dan kesetiaan kepada KPU. Sistem yang sekarang justru membuka ruang adanya loyalitas ganda. Satu sisi pegawai dengan status pinjaman daerah justru loyal kepada instansi asal, sedangkan satu sisi mereka dituntut untuk membantu KPU. Posisi inilah yang kemudian menyebabkan KPU sulit dalam melakukan kontrol dan penataan.
Kedepan, Komisi II DPR RI harus lebih bijaksana menyikapi persoalan kemandirian penyelenggara pemilu. Momentum revisi merupakan ujian bagi DPR dan Pemerintah untuk menunjukkan kedewasaannya dalam menata demokrasi di Indonesia. Jangan sampai kepentingan politik lebih mendominasi tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat. Meminjam Pepatah Minang, mandangaan kecek urang, laluan dek awak. Aspirasi dan tuntutan masyarakat hanya sebatas masukan belaka, tapi kepentingan politik lah yang akan tetap diakomodir.

Tinggalkan komentar